Search This Blog

Wednesday, June 8, 2011

kediaman jendral ahmad yani

Suasana sunyi di sekitar jalan Lembang, Jakarta Pusat. Waktu menunjukan pukul 04:10 WIB. Seorang anak kecil tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia mencari ibunya yang ternyata sedang tidak ada di rumah, melainkan sedang melakukan tirakat di jalan Senopati.
Anak ini bernama Eddy. Usianya baru genap 7 tahun. Sayang, yang dijumpai bukan ibunya, melainkan beberapa orang yang berpakaian militer. Mereka menyuruh Eddy untuk membangunkan ayahnya. Dengan polos, Eddy langsung menuju ke kamar ayahnya yang masih terlelap tidur. Tak berapa lama, orang yang dicari pun keluar dari ruang tidurnya.

Suasana sunyi di sekitar jalan Lembang, Jakarta Pusat. Waktu menunjukan pukul 04:10 WIB. Seorang anak kecil tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Ia mencari ibunya yang ternyata sedang tidak ada di rumah, melainkan sedang melakukan tirakat di jalan Senopati.
Anak ini bernama Eddy. Usianya baru genap 7 tahun. Sayang, yang dijumpai bukan ibunya, melainkan beberapa orang yang berpakaian militer. Mereka menyuruh Eddy untuk membangunkan ayahnya. Dengan polos, Eddy langsung menuju ke kamar ayahnya yang masih terlelap tidur. Tak berapa lama, orang yang dicari pun keluar dari ruang tidurnya.
“Maaf menganggu tidur Jenderal,” sapa seorang Prajurit sambil memberi hormat.
”Ada apa?” tanya pria yang disapa Jenderal itu.

Di ruang ini percakapan antara Jenderal Ahmad Yani dengan anggota Pasukan Cakrabirawa berlangsung. Pintu kaca berfigura kayu itu menjadi saksi bisu peristiwa pemukulan Jenderal yang membuat salah seorang anggota Pasukan jatuh dan penembakan. Kalo kita lihat, ada bekas lubang-lubang peluru yang ditembakan Pasukan yang masih ditinggalkan di kaca itu.
Percakapan terjadi di antara ruang makan dan ruang belakang. Pria yang disebut-sebut sebagai Jenderal itu berdiri di samping pintu kaca berbingkai kayu. Ia masih menggenakan piyama warna putih bergaris-garis biru. Sementara para Prajurit yang dipimpin oleh Peltu Mukijan dari Brigif I Kodam V/ Jaya ini berdiri di sebuah jalan seperti gang yang berada di ruang belakang.
”Jenderal dipanggil Presiden,” ucap Prajurit itu lagi.
”Baiklah, tapi saya mandi dan berpakaian dahulu,” kata Jenderal itu lagi.
”Tidak usah!”
Seketika beberapa Prajurit itu menodongkan senjata ke arah pria bergelar Jenderal itu. Melihat sikap Prajurit-Prajurit itu, sang Jendral naik pitam. Salah seorang yang tepat berada di depannya langsung dipukul hingga jatuh. Selesai memukul, pria itu langsung menutup pintu kaca yang menghubungkan antara ruang makan dan ruang belakang.
”Tembak!”
Suara perintah Serda Raswad itu ditujukan pada Serda Giyadi agar segera menembak sang Jenderal.
”DOR!! DOR!! DOR!! DOR!! DOR!! DOR!! DOR!!”
Tujuh tembakan diletupkan oleh para Pasukan itu. Peluru-peluru yang berasal dari senjata tipe SMR/ Bren, LE, Thompson itu menembus pintu kaca, lemari yang berada di depan pintu kaca, dan menembus tubuh sang Jenderal. Tepat di samping meja makan, Jenderal itu roboh dengan darah yang mengucur deras dari tubuhnya yang tertembus peluru itu. Tubuh yang berlumuran darah itu kemudian diseret oleh dua orang Prajurit untuk selanjutnya dinaikkan ke kendaraan dan dibawa ke lubang buaya.
Tak ada yang menyangka peristiwa berdarah itu terjadi. Pun oleh Yayu Rulia Subandiah. Meski sebelum penembakan yang dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa itu terjadi, ada firasat buruk yang sempat terbesit di pikirannya. Hal itu terjadi karena sebuah halilintar mengelegar dan sempat meretakkan ruang kamar sang Jenderal.

Inilah lokasi dimana Jenderal Ahmad Yani jatuh tersungkur setelah ditembaki oleh Pasukan Cakrabirawa.
Detik-detik menegangkan itu sempat saya bayangkan ketika saya berkesempatan hadir di museum Sasmitaloka. Museum yang berada di jalan Lembang 58 D, Menteng, Jakarta Pusat itu merupakan kediaman pribadi Jenderal yang kita kenal sebagai Ahmad Yani. Pada tanggal 30 September 1966, rumah tersebut diserahkan oleh Ibu Yayu yang dikenal dengan nama Ibu A. Yani kepada Menpangab Letnan Kolonel TNI Soeharto.
Saya sempat berdiri persis di depan tempat dimana Jenderal Ahmad Yani roboh. Di tempat ini saya membayangkan Ibu A. Yani mengepel lantai yang penuh darah dengan piyama milik suaminya. Begitu memilukan pagi dini hari itu, karena piyama itu tak lain adalah hadiah ulangtahun yang diberikan Ibu A. Yani pada suaminya. Di saku piyami itu pun terdapat gaji terakhir bulan Oktober senilai Rp 120 ribu yang belum sempat diberikan oleh sang suami.
Jendral TNI Ahmad Yani adalah satu dari tujuh Perwira TNI lain yang pada tanggal 30 September 1965. Keenam Perwira yang dibunuh secara kejam oleh gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah Mayor Jenderal Haryono, Letnan Jenderal S. Suprapto, Letnan Jenderal M.T. Haryono, Letnan Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal D.I. Panjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswo Miharjo, Kapten Pierre Tendean, dan AIP TI Karel Sasuit Tubun.
Rumah Jenderal Ahmad Yani yang masih asli bentuknya dari tahun 1965. Tentu yang dipercantik adalah cat tembok dan cat-cat lain.
Hari ini, tepat di tanggal 1 Oktober, kita mengenang peristiwa tragis yang dialami anak bangsa. Lebih dari itu, momentum G30 S/ PKI ini digunakan oleh Soeharto sebagai peristiwa sakral yang kelak menjadikannya sebagai Presiden Orde Baru. Dalam buku-buku sejarah, Soeharto memang berjasa dalam menumpas gerakan kiri ini. Dengan pangkatnya sebagai Mayor Jenderal dan saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), ia berhasil mengambil tindakan yang cepat untuk memulihkan stabilitas yang kurang kondusif.
Terlepas dari benar atau sekadar rekayasa sejarah yang dilakukan oleh Soeharto -sebagaimana yang selalu dikatakan oleh musuh-musuh Presiden Orba yang dikenal diktaktor ini- , saya lebih melihat memang ada orang yang harus menyelamatkan kondisi kritis bangsa ini. Kalo tidak ada, tentu PKI akan menguasai bangsa ini. Dan selanjutnya PKI akan menggantikan falsafah bangsa ini dari Pancasila menjadi ajaran Marxisme dan Leninisme. Kkebetulan takdir jatuh pada orang bernama Soeharto.
Saya masih ingat sekali, setiap tanggal 30 September kemarin, TVRI selalu memutar film Penghianatan G30 S/ PKI karya Sutradara Arifin C. Noor. Menurut beberapa lawan politik Soeharto, pemutaran film setiap tanggal itu merupakan alat propaganda yang nyata, yang dimaksudkan untuk menanamkan trauma warga negara pada bahaya komunisme dan tentu saja memperlihatkan kepahlawanan Soeharto. Wajarkah? Saya pikir wajar. Menurut ahli sejarah E.H. Carr, tidak ada sejarah yang absolut obyektif. Sejarawan syang menulis buku sejarah pasti akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain dikenal sebagai personal bias, latar belakang lingkungannya, keadaan politik, dan juga konflik ideologi. Ketika sejarawan pro pada pemerintahan A, pasti sejarah mengenai A akan dibuat sepositif mungkin, sementara sejarah lawan politiknya dibuat senegatif mungkin. Tentunya ‘penciptaan’ sejarah yang kurang objektif ini dihubungkan dengan kisah sejarah yang asli dicampur dengan asumsi-asumsi ilmiah, yang kemudian orang-orang dibuat percaya.
Padahal, kalo saja sejarawan bukan lawan politik atau berada di dalam lingkungan partai, dimana Ketua Umum-nya ingin menjadi Presiden, maka penulisan sejarah akan mendekati objektif. Yakni tentu saja akan dilakukan riset dengan mencoba menyeimbangkan versi sejarah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang telah diuji kesahihannya, tanpa intervensi orang yang berkepentingan akan kisah sejarah itu.
Ruangan tempat saya mejeng ini berada di belakang. Sebelum menjumpai Jenderal, pasukan Cakrabirawa harus melewati ruangan ini. Sekarang di ruang ini penuh dengan foto-foto Ahmad Yani di berbagai kesempatan, termasuk foto pada saat beliau ditemukan di dalam lubang buaya.
Kisah di pembukaan note saya di atas tadi merupakan tafsir pribadi saya. Bisa jadi tafsir saya ngaco. Rekonstruksi detik-detik penembakan Jenderal TNI Ahmad Yani tidak persis seperti yang saya ceritakan tadi. Tapi itulah sejarah. Mengapa saat ini sejarah mengenai PKI atau hal-hal yang menyangkut Orde Baru tidak menjadi mata pelajaran utama di sekolah-sekolah? Salah satu analisa saya, banyak orang yang ingin menafsirkan sejarah sebagaimana saya sudah lakukan. Kalo saya tentu masih objektif, karena tidak ada satu pun orang yang mengintervensi tafsir saya.
Di era keterbukaan seperti sekarang ini, dimana lawan-lawan politik pemerintahan sekarang cukup banyak, maka banyak tafsir sejarah yang beredar, dan itu jelas akan membuat murid-murid bingung. Jangan heran, pelajar sejarah sekarang tidak sedetail zaman dulu. Saat ini murid-murid hanya diberikan secara global sejarah tentang Indonesia, tapi soal sejarah seperti PKI atau Supersemar, kita dibiarkan menafsirkan sendiri dari buku-buku sejarah yang ada. Soal benar atau tidaknya, itu diserahkan pada kita sendiri. Namun saat ini harus hati-hati, jangan percaya pada satu buku. Lihat siapa penulis buku itu, background si penulis dan penerbitnya, jangan-jangan buku yang Anda baca juga salah satu doktrin yang menyimpangkan sejarah guna memenangkan kursi empuk menjadi Ketua Umum Partai Politik atau bahkan menjadi Presiden.